Rabu, 07 Januari 2015

Sikap Hidup

Semenjak 4 tahun yang lalu, tepatnya setelah ku lepas atribut seragam sekolah dan bebas menentukan pakaian yang akan ku kenakan, tak pernah ku berpikir mengenai surga dan neraka. Menurut pandanganku pribadi, konsep surga dan neraka terlalu abstrak. Seakan-akan orang baik pasti akan naik surga, sedangkan kebaikan itupun juga pasti ada cela. Surga hanyalah fiksi yang diharapkan mampu mengarahkan dan mengontrol cara hidup manusia. Agar tidak rusuh alias chaos. 

Surga identik dengan sikap hidup yang benar, Neraka tentu saja menjadi antitesisnya. Sedangkal itulah filosofi dan doktrin mengenai sikap hidup di dunia. Bisa jadi pun, Tuhan adalah salah satu tokoh fiktif yang sungguh luar biasa, yang memiliki kemampuan untuk membuat manusia taat dan tunduk akan "larangan" serta "perintah"-Nya. Juga memiliki kemampuan untuk membuat manusia "membela"-Nya sedemikian rupa sehingga menghasilkan konflik berkepanjangan. Bebas. Ia toh Maha Kuasa. Tapi ini hanyalah pemikiran pribadi, tidak akan kupaksakan ke orang lain. Tidak ada manfaat untukku.

---

Manusia hidup hingga detik dia masih dapat bernafas karena bertahan dan beradapatasi dengan dirinya sendiri, dengan manusia lainnya, dengan tatanan masyarakat, dan lain hal yang sulit diidentifikasi olehku. Juga manusia dapat hidup karena adanya suatu hal yang diyakini, yang diperjuangkan. Baik itu agama, ilmu pengetahuan, orang yang dikasihi, atau bahkan harta-tahta-wanita, apapun itu. Sikap manusia memilih cara untuk ia bertahan hidup itu variatif alias jamak sekali.

Ada yang memilih bertahan hidup dengan cara menjadi seorang cendekiawan, ada pula yang memilih bertahan hidup dengan cara menjadi durjana. Tidak ada salah dan benar, yang ada hanyalah sudut pandang. Mungkin saja bagi orang terdekat si durjana, dia begitu luar biasa, sosok yang heroik, karena keberaniannya mengambil resiko untuk menjaga kelangsungan hidup keluarganya. Namun bagi orang yang memiliki cara hidup yang berseberangan dengan si durjana, pastilah muncul sentimen negatif yang tentu saja memicu gesekan. Gesekan memicu rasa antipati, fobia. Fobia memicu sikap anti kritik, merasa benar sendiri. Dan akhirnya memicu konflik. Dan siklus itu masih terjadi, masih terulang hingga saat ini. Surga dan neraka yang merupakan produk akhir benar dan salah tentu saja menjadi propaganda andalan dan menjadi jargon. Gambaran akan dunia yang indah dan manis hanya bisa ditemukan di sajak dan prosa. Hanyalah utopia. Hanyalah ada dalam khayalan kanak-kanak yang masih belum tau apa-apa. Yang tidak tahu apa itu zionis, apa itu iluminati, apa itu freemason.

Berikut adalah kutipan dari buku terakhir yang kubaca, Atheis, karya Achdiat K. Mihardja di tahun 1949 yang sungguh masih relevan di tahun 2015 ini. 
"Sesungguhnya, kami berdua sangat berbedaan tabiat, tapi anehnya, biarpun begitu masih juga kami bisa bergaul dengan karib, Memang anak-anak belum merenggangkan satu dari yang lainnya lantaran sikap hidup yang berlainan. Oleh karena itu barangkali dunia ini baru akan bisa aman dan damai, kalau penduduknya hanya terdiri dari kanak-kanak melulu."
Mihardja, Achdiat K. 1990. Atheis. Jakarta : Balai Pustaka. 

Untuk diriku sendiri, cara bertahan hidup yang kupilih masih belum jelas. Satu hal yang kuyakini adalah segala perilaku yang aku perbuat sebisa mungkin dapat menambah manfaaat dan kualitas bagi diriku dulu saja dan tidak mengurangi manfaat serta kualitas hidup orang lain. Entah ini hal yang sederhana, tidak muluk-muluk, atau tidak memiliki ambisi ekstrimnya bagai sampah di muara... aku tidak peduli. 

---

Baik benar hitam putih sungguhlah hal yang sangat relatif dan bisa dikatakan naif di tengah laku manusia dari jaman manusia purba hingga berevolusi menjadi manusia modern. Toh menurut literatur, kehidupan manusia di dunia ini dimulai dari dosa. Ketika Hawa menggigit buah Khuldi. Sedangkan mereka berada di Taman Firdaus, tempat yang indah dan suci, bagaimana bisa tumbuh buah sumber dosa dan petaka. Aneh.



Fin.