Senin, 23 Maret 2015

Retorika

Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang memiliki hipokampus paling berkembang. Singkat kata, hipokampus merupakan bagian dalam otak yang bertanggung jawab dalam ingatan. Untuk lebih jelasnya, sepertinya bukan ranah saya untuk memberikan pengertian lebih lanjut (daripada sesat), sehingga bisa ditelusuri sendiri di mesin pencarian jika penasaran.

Susunan ingatan yang ada dalam otak manusia berkembang sedemikian rupa, menjadi suatu pengalaman, sehingga kita bisa mengetahui baik buruknya sesuatu baik secara psikis maupun fisik. Apakah ini menyenangkan. Apakah ini menyakitkan. 


Bisa saja ditafsirkan bahwa hipokampus inilah salah satu dari sekian banyak bagian otak yang mempengaruhi akal budi manusia. Dasar tindakan manusia yang tidak hanya mengikuti naluri seperti hewan. Pusat kendali pikiran, tingkah, dan laku dalam hidup manusia. Yang diharapkan membuat makhluk hidup dengan label M-A-N-U-S-I-A menjadi lebih baik. 


Dengan memori, manusia hidup tidak hanya sekedar hidup. Manusia hidup dengan susunan memori atau ingatan yang sistematis dan berkelanjutan, sehingga manusia bisa memproyeksikan hidupnya jauh ke depan bukan hanya bertahan hidup layaknya hewan. Kita berpikir untuk hidup 10 tahun yang akan datang, bukan berpikir hidup hanya untuk hari ini. 


Memori buruk membuat kita akan menghindari sebab-sebab yang mengakibatkan hal buruk terjadi. Memori yang menyenangkan membuat kita mengejar dan mencari sebab-sebab hal menyenangkan terjadi. Namun, kadang manusia sering disorientasi dalam mengelola memori. Kadang kita lupa bahwa persepsi baik dan buruk akan suatu hal antara satu manusia dengan manusia yang lain berbeda. Kadang hal menyenangkan untuk kita bisa saja menjadi mimpi buruk bagi orang lain. Dan  kadang kita sering memilih untuk tidak mempedulikan hal itu.

"Ya... Yang penting aku bahagia."

Menurut saya, memori yang dialami oleh manusia menghasilkan rasa. Rasa bahagia, rasa sakit, rasa rindu, rasa kecewa, dan rasa lainnya yang sering kita alami. 

Acap kali, saya sering menyakiti orang yang menyayangi saya, yang mempedulikan saya, orang-orang yang secara nyata hadir di hidup saya. Atas dasar "Aku merasa senang bila aku begini maka ya persetan dengan orang lain" seringkali saya lupa akan perasaan orang lain. 

Apakah pemahaman manusia mengenai baik dan buruk alias akal budi ini malah tidak membuat manusia menjadi lebih baik dibanding makhluk hidup lainnya? Apakah jauh lebih baik makhluk hidup yang mengandalkan naluri untuk bertahan hidup? Atau apakah saya yang gagal dalam mengembangkan akal budi saya? Atau yang terakhir, untuk apa saya mempertanyakan ini semua alih-alih saya bisa mengubah diri menjadi lebih baik? Daripada hanya mempertanyakan segala hal? Pada titik ini saya tidak tahu.